Monday, October 8, 2012

DPP Turun Gunung, Kaderisasi Gagal?

Tags


Meski memiliki cakupan, wewenang dan tanggung jawab yang lebih terbatas, seringkali persoalan suksesi kepemimpinan partai politik di tingkat daerah mengalami masalah berkepanjangan. Pergantian pimpinan parpol, entah karena habisnya masa jabatan, tersangkut kasus hukum atau bahkan meninggal, seringkali harus melibatkan dewan pimpinan pusat parpol bersangkutan.
DPP ’’terpaksa’’ harus menempatkan orang pusatnya sebagai caretaker atau pelaksana harian. Padahal, orang pusat yang ditempatkan di suatu daerah, seringkali memiliki jabatan atau tugas penting lain yang tidak bisa ditinggal. Karena itu, mau tidak mau mereka harus merangkap jabatan. Tak pelak, hal itu menimbulkan kesan bahwa parpol mengalami krisis kepemimpinan dan kaderisasi.
Tidak adanya sistem kaderisasi dan suksesi kepemimpinan yang rapi juga membuka peluang adanya kompetisi yang tidak sehat, yaitu politik uang. Menunjuk orang pusat menjadi pelaksana harian parpol di daerah, juga dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun, menurut Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo, hal itu sifatnya hanya sementara dan bukan karena kaderisasi yang gagal.
"Pelaksana harian sifatnya hanya sementara selama tiga bulan. Tugas Pak M Prakosa adalah melakukan konsolidasi terkait pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilihan kepala daerah. Selain itu, ditunjuknya beliau karena Murdoko sedang diberhentikan sementara sampai ada keputusan hukum tetap," katanya.
Bila Murdoko akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan, maka posisinya akan dikembalikan lagi. Namun karena partai harus tetap berjalan, DPP menugaskan pelaksana harian sebagai panglima lapangan. Sejauh ini, Murdoko belum dianggap bersalah oleh partainya. Namun karena proses hukum tidak dapat dipastikan kapan berakhir sementara tugas-tugas kepartaian harus dilaksanakan, ditunjuklah pelaksana harian. Setelah tiga bulan, tugas pelaksana akan dievaluasi kembali. Bisa saja tugas Prakosa diperpanjang atau justru ditentukan ketua baru secara definitif. Sebab, DPP juga akan melihat adakah figur yang nantinya akan ditetapkan sebagai ketua untuk memimpin PDIP di Jawa Tengah.
Terkait penunjukkan Prakosa yang juga merupakan ketua Badan Kehormatan DPR RI, Tjahjo beralasan partainya merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, apa yang menyangkut rekomendasi, keputusan, pergantian antarwaktu ataupun sanksi, ada mekanisme yang diatur dalam tata tertib dan AD/ART.
’’Penunjukkan itu tidak melanggar ketentuan. Penunjukkan pelaksana harian adalah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih. Apalagi, Jateng adalah daerah yang menjadi basis PDIP,’’ tukasnya.
Namun, peneliti LIPI Siti Zuhro menilai, idealnya pimpinan parpol tidak melakukan rangkap jabatan. Sebab, hal itu hanya akan membuat beban bagi orang yang ditugaskan semakin berat. ’’Rangkap jabatan juga akan akan menimbulkan kerancuan. Selain itu, rangkap jabatan juga tidak efektif,’’ katanya.
Jakarta Sentris
Dia menilai, secara umum parpol di Indonesia masih menerapkan sistem yang top down, senioritas, elitis dan kurang transparan dalam rekrutmen.
Kesulitan dalam mengatasi suksesi di internal partai, khususnya di daerah-sangat, dirasakan. Sebab, partai masih sangat Jakarta sentris, yang menempatkan pimpinan pusat sangat besar. Satu sisi mungkin bisa memberikan dampak positif terhadap relasi yang sifatnya hierarkis. Tetapi di sisi lain, kurang memberikan kewenangan atau otoritas pada pimpinan daerah. Dengan demikian, ada kecenderungan ketergantungan daerah kepada pimpinan pusat yang sangat besar. Padahal, idealnya partai harus menjadi tempat menyemai kader.
Partai, bahkan, harus menjadi gudangnya kader calon pemimpin, baik di legislatif maupun eksekutif. Oleh karena itu, dia menyayangkan bila pemilihan pimpinan partai di semua jenjang masih menggunakan uang. ’’Sayangnya, pemilihan pimpinan partai baik di pusat maupun daerah, semuanya melibatkan uang,’’ keluhnya.
Sementara saat kader sejumlah parpol mulai berkurang, parpol baru justru banyak memperoleh anggota. Hal itu menimbulkan tudingan sementara pihak bahwa parpol baru jor-joran dalam ’’membeli’’ kader. Bahkan, ada pula parpol yang dituding menggaji kader yang mau menjadi pengurus. Namun hal itu dibantah oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Nasonal Demokrat Ferry Mursyidan Baldan. Sebab, menurut dia, partainya tidak pernah menggaji kader yang menjadi pengurus.
Dijelaskan, yang dilakukan DPP hanya memfasilitasi biaya operasional partai. ’’Jadi, tidak ada gaji untuk pengurus partai. Yang ada adalah biaya operasional untuk membangun partai dan pengadaan sekretariat,’’ tukasnya.
Biaya operasional dimaksud adalah mencari/menyewa kantor, tranportasi dan konsumsi. Sebagai partai baru, dia mengakui sulit mengharapkan iuran anggota. Sejauh ini, tim bendahara partai lah yang mengatur biaya operasional agar partainya bisa berjalan.
Oleh karena itu, dia menganggap adanya tudingan bahwa Nasdem menggaji pengurusnya sampai tingkat daerah, sangat berlebihan. Meski demikian, Ferry mengakui bahwa setiap kader Partai Nasdem diikutsertakan dalam asuransi ketika mendaftar. Asuransi tersebut ’’menempel’’ pada kartu anggota. Dengan demikian, ada kebanggaan bagi anggota partai yang memiliki kartu anggota sekaligus tercatat sebagai peserta asuransi. Kalau mereka sakit atau meninggal, maka akan mendapat santunan. Sebab, bagaimanapun juga mereka tercatat sebagai peserta asuransi.
Namun dia membantah, pengasuransian kader partai merupakan upaya untuk merebut dukungan kader partai lain. Sebab Nasdem tidak menyasar kader dari partai lain untuk bergabung. Apalagi, yang menjadi fokus dan target utama adalah mereka yang belum berpartai. Namun bila ada kader parpol lain yang ingin bergabung, dia mempersilakan.
’’Bagaimanapun, kita tidak bisa melarang mereka yang ingin bergabung,’’ jelas mantan fungsionaris Partai Golkar itu. (Saktia Andri Susilo, Wisnu Wijanarko-09)
Sumber : suaramerdeka.com


EmoticonEmoticon