Tidak dapat dipungkiri bahwa pemberitaan tentang anggota
parpol yang terlibat kasus-kasus korupsi masih memenuhi layout media cetak dan menjadi
perbincangan di media elektronik. Sampai-sampai kitapun jenuh dibuatnya.
Entah disengaja ataupun tidak, seakan-akan pikiran kita
digiring untuk tidak lagi mempercayai parpol sebagai pilar demokrasi. Padahal
menurut Burhan Muhtadi, belum terbayang bagaimana menjalankan sistem
pemerintahan demokrasi tanpa partai politik.
Oknum anggota parpol yang terjerat korupsi tentu tidak
bekerja sendiri, mereka seringkali berkolaborasi dengan oknum PNS untuk
merampok uang rakyat. Sekali lagi itu hanya ulah sebagian oknum, tidak semua
pegiat parpol dan PNS memperkaya diri dengan korupsi.
Dua hari ini saya menjumpai berita tentang transaksi suap
CPNS. Jawa Pos menampilkan judul berita di halaman pertama “Transaksi suap CPNS
mencapai Rp. 35 T”, dan hari ini Harian Semarang menampilkan “Kursi PNS
diperjualbelikan Rp 150 juta”.
Sebagaimana diberitakan di Jawa Pos, Wakil Ketua Tim
Reformasi Birokrasi Nasional (T-RBN) Soffan Effendi secara diam-diam
menerjunkan tim khusus untuk memantau prekrutan CPNS. Dalam pantauan tersebut
ia menemukan bahwa kasus suap atau jual beli kursi CPNS ini terjadi hampir di
seluruh instansi pusat dan daerah.
Percaloan atau jual beli kursi CPNS terjadi karena banyaknya
masyarakat yang menginginkan tapi kuotanya terbatas. Ditilik dari
sosiokultural, masyarakat menilai PNS merupakan profesi untuk mencari uang
bukan untuk mengabdi.
Yah, memang miris tapi begitulah realitasnya. Bahkan ada
fenomena yang menurut saya ‘lucu’. Lebih tepatnya “lucu tur wagu” .
beberapa orang mengadukan oknum PNS yang menjanjikan kursi CPNS asalkan
memberikan sejumlah uang. Ternyata begitu uang diserahkan, kursi CPNS masih
belum bisa ia dapatkan. Selengkapnya bisa dibaca di sini : http://www.jpnn.com/read/2013/02/14/158372/Guru-Honorer-Ditipu-Calo-PNS-
dan jika kurang puas anda bisa menemukan banyak sekali kasus serupa dengan search keyword “tertipu calo PNS”. Media
massa memberitakannya sebagai korban, tapi menurut saya mereka juga pelaku. Orang-orang
ini bahkan terang-terangan mengaku menyerahkan sejumlah uang kepada oknum PNS. Jelas
sekali kesalahannya.
Sebagaimana kasus-kasus hukum yang lain, kasus yang tidak
terungkap ke publik tentu lebih banyak lagi jumlahnya. PNS yang berada di
instansi pemerintah saat ini bisa jadi juga menggunakan cara yang sama. Bukan
pengabdian untuk negara yang jadi tujuan tapi kekayaan pribadi yang mereka
inginkan.
Nah sekarang saya coba paparkan tentang aktivis parpol yang saya
katakan bisa jadi lebih mulia dari abdi negara bernama PNS. Partai politik memerlukan SDM dan dana untuk
bekerja menyalurkan aspirasi masyarakat, melakukan pendidikan politik dan fungsi-fungsinya
yang lain. Memang ada dana bantuan parpol dari APBN tapi nilainya tak seberapa.
Oleh karena itu aktifis yang bergabung di sana juga ditarik iuran anggota. Jika
aktifis parpol itu ditempatkan sebagai pejabat publik dan mendapatkan gaji dari
negara, maka sebagian gajinya itu juga
dipotong untuk membiayai parpol. Ini baru namanya pengabdian.
Mungkin akan ada yang berkomentar “ah.. mana ada parpol
seperti itu?” maka saya bisa pastikan ada karena saya menyaksikan sendiri
bagaimana kader-kadernya bekerja dan mengeluarkan dana pribadi. Jika anda masih
bersikeras partai seperti ini tidak ada, maka cobalah bergabung jadi aktifis salah
satu parpol yang ada di Indonesia. Tak apa loncat dari satu partai ke partai
lain untuk mencari kebenaran. Jika masih tidak bisa menemukannya, anda bisa
buat parpol sendiri dan merekrut aktifis yang benar-benar tulus mengabdi untuk
negara melalui partai politik. Selamat
mencoba.