Friday, January 18, 2013

Kerinduan Taufik Ismail pada pemilu yang bersih dan indah

Ketika Indonesia dihormati dunia
Karya Taufik Ismail


Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat

Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat

Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima

Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka

Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa

Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil

Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan

Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi

Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan

Pesta yang bermakna kegembiraan bersama

Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda


Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan

Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan

Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang

Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar

Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar

Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan

Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan


Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia

Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman

Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan

Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan


Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan

Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran

Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan

Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan

Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan

Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan


Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan

Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan

Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan

Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaran

Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan

Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan

Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan


Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan

Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan

Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.


2004

=====================================================================

Puisi di atas merupakan ungkapan kegalauan dari Taufik Ismail  atas penyelenggaraan Pemilu yang banyak kekurangan di sana sini. perilaku bangsa ini dalam setiap pemilu dianggap buruk dan mencoreng nama Indonesia di mata dunia.

Tindak kekerasan dan kecurangan yang mewarnai pemilu bisa jadi disebabkan oleh persepsi yang keliru tentang pemilu itu sendiri. Pemilu dianggap sebagai medan pertempuran bukan lagi sebagai ajang persaingan untuk menentukan pemimpin.
Dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, seharusnya pihak manapun yang menang harus diakui semua pihak yang bersaing dalam pemilu. Namun pada kenyataannya, seringkali parpol yang kalah tidak bisa menerima kekalahannya. mereka memilih bertindak anarkis daripada melakukan koreksi diri. Parahnya lagi, yang mereka rusak adalah fasilitas umum yang dibangun dengan uang mereka sendiri (dalam bentuk pajak, retribusi, dll).

Pelaksanan pemilu yang gaduh seperti yang berlangsung selama ini menjadikan banyak masyarakat enggan bersentuhan dengan politik. Mereka cenderung acuh tak acuh setiap pemilu tiba karena terkadang perbedaan pandangan politik menyebabkan perselisihan dalam sebuah keluarga.

7 kali pemilu telah dilalui oleh Taufik Ismail, tapi pemilu-pemilu itu belum mampu menggantikan pemilu tahun 1955. Mungkin memang benar bahwa Pemilu tahun 1955 merupakan Pemilu yang paling demokratis. yah.. semoga Pemilu yang seindah ini bisa kembali terulang.