Friday, March 28, 2014

Calon penguasa yang tak kuasa kendalikan massanya



PDI di Pemilu 2014 ini digadang-gadang sebagai calon pemenang. Yang artinya kekuasaan mengelola negara akan diamanahkan kepada partai ini.

Tapi pagi ini saya miris mendengar kabar ricuhnya kampanye PDIP yang digelar di Stadion Tri Lomba Juang Semarang, Kamis (27/3) sekitar pukul 15.00. Sebagaimana yang diberitakan Suara Merdeka, Sesama simpatisan partai berlambang kepala banteng itu bentrok. Puluhan orang beratribut partai itu saling adu jotos hanya lantaran salah paham saat berjoget dangdut.

Tak hanya adu jotos, mereka juga saling kejar hingga pesta demokrasi yang dihadiri oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Wakil Gubernur Jateng Heru Sudjatmoko, dan Wali kota Semarang Hendrar Prihadi, kisruh dan terasa tak nyaman.

Selain itu, peserta kampanye juga terlihat tidak menggunakan perlengkapan berkendara dan melanggar ketentuan, hingga aparat Satuan Lalu Lintas Polrestabes Semarang menertibkan mereka.

Itulah sebagian kecil gambaran massa PDIP, mereka seakan tak menaruh hormat pada Gubernur dan Walikota. Para Pejabat sekaligus petinggi partai tersebut juga seakan tak kuasa mengendalikan pengikutnya.

Kampanye kemarin harus jadi pelajaran bagi PDI agar memperkuat kemampuan kontrol pada kader-kadernya. jika tidak maka hal ini benar-benar mencemaskan.

Mengelola sebuah negara jauh lebih rumit daripada sekadar mengelola kampanye. Menjalankan sebuah pemerintahan selama 5 tahun jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan mengatur 2-3 jam kampanye. Mengatur sebuah negara berarti juga mengendalikan semua warga negara Indonesia yang jumlahnya ratusan kali jumlah kader dan simpatisan PDIP. Jika mengendalikan massanya sendiri saja tidak mampu, apakah mungkin mengendalikan sebuah negara?  

Friday, March 21, 2014

Sabotase Birokrasi

 
 
NETRALITAS politik birokrasi adalah mitos. Kenyataannya, birokrasi adalah faksi politik yang sangat aktif memihak dan memperjuangkan agenda dan kepentingannya sendiri. Sebuah agenda yang seringkali berlawanan dengan visi demokratisasi pemerintahan, yaitu penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang tak korup.


Benar bahwa struktur birokrasi di bawah kekuasaan kepemimpinan politik. Namun, birokrasi cenderung hanya akan ”loyal” dan ”kolaboratif” terhadap kepemimpinan politik yang memiliki agenda dan kepentingan sejalan, yang sayangnya bersifat anti penguatan pelayanan publik dan anti pemerintahan yang bersih dan jujur.


Berbagai kasus korupsi dan suap yang terungkap menunjukkan betapa kolaborasi jahat antara pemimpin politik dan birokrasi telah menghancurkan harapan akan pemerintahan yang sehat dan bertanggung jawab. Kasus Hambalang, SKK Migas, Pemprov Banten, dan ratusan lainnya, secara gamblang, menunjukkan betapa persekongkolan jahat antara birokrasi dan politisi sudah menjadi kanker ganas di tubuh demokrasi Indonesia.


Sebaliknya, terhadap kepemimpinan yang membawa agenda demokratisasi pemerintahan, niscaya birokrasi akan mengambil jalan ”melawan” dengan berbagai strategi sabotase. Kasus terkini di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjukkan bahwa agenda penguatan pelayanan publik dan pemerintahan yang baik, secara terus-menerus, disabotase oleh elemen-elemen birokrasi yang mulai terganggu kepentingannya akibat agenda tersebut. Kecurangan dalam pengadaan bus transjakarta, penyimpangan pemanfaatan rumah susun, permainan lelang kepala sekolah, perlawanan lelang jabatan, dan manipulasi penyusunan anggaran adalah bentuk sabotase atas agenda reformasi birokrasi yang sedang diupayakan oleh kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama.


Birokrasi melakukan sabotase karena langkah membangun pelayanan publik yang kuat dan pemerintahan yang bertanggung jawab mengganggu ”zona nyaman” yang selama ini mereka nikmati. Praktik-praktik ketidaksungguhan dalam pelayanan dan penyimpangan anggaran memang jadi tradisi birokrasi, bukan hanya di pemerintahan DKI Jakarta, melainkan juga merata di berbagai instansi birokrasi pemerintahan di pusat dan daerah.


Kuasa politik birokrasi


Kecenderungan perlawanan birokrasi terhadap agenda demokratisasi pemerintahan bersumber dari karakter kuasa politik yang melekat dalam proses formasi dan perkembangan struktur birokrasi pemerintahan negeri ini. Sejarah birokrasi Indonesia adalah sejarah tentang alat politik dan tentang dominasi kekuasaan pemerintahan.


Sebagai alat politik, birokrasi pemerintahan di Nusantara dibentuk pertama kali oleh rezim Hindia Belanda sebagai kepanjangan tangan agenda-agenda kolonialisme. Birokrasi bukan merupakan struktur yang dibentuk untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduk sebagai warga negara kolonial.


Logika berpikir semacam ini lebih kurang diadopsi selama pemerintahan Orde Baru, di mana birokrasi lebih berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan menguasai masyarakat daripada sebagai institusi yang sungguh- sungguh disusun untuk memproduksi pelayanan publik. Dengan jadi alat rezim, birokrasi memiliki legitimasi sebagai aktor pemerintahan yang dominan dan kuat, yang menjadikan dirinya lebih sebagai patron daripada pelayanan bagi masyarakat.


Sebagai aktor yang mendominasi pemerintahan, birokrasi memiliki kuasa atas fungsi-fungsi pemerintahan. Termasuk di dalamnya pelayanan publik dan penyelenggaraan anggaran publik.


Kekuasaan pemerintahan tersebar dalam berbagai detail kewenangan yang menjadi ranah bekerjanya birokrasi. Dengan kekuasaan terhadap detail kewenangan (termasuk data dan informasi kebijakan), aktor-aktor birokrasi menjelma jadi pemegang kekuasaan strategis, mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi kebijakan publik.


Sayangnya, kekuasaan tersebut selama ini cenderung digunakan untuk melayani kepentingan partikular kelas elite kekuasaan maupun memanfaatkannya untuk memenuhi kepentingan sendiri kaum birokrat. Postur birokrasi yang terbangun pada akhirnya tak sejalan dengan semangat imparsialitas dan mengedepankan pelayanan publik. Akibatnya, terjadi disfungsi pelayanan publik yang akut dan pemerintahan yang tidak efektif.


Gagasan reformasi birokrasi ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi dasar birokrasi sebagai pengelola pelayanan publik dan mendorong lahirnya pemerintahan yang efektif. Gagasan semacam ini secara frontal menyerang fondasi mentalitas kuasa politik birokrasi yang terbiasa dengan praktik permainan kewenangan dan sumber daya untuk keuntungan diri sendiri maupun kelas elite kekuasaan.


Dalam kasus DKI Jakarta, sabotase mulai dari yang bersifat terang-terangan (menolak lelang jabatan), pengabaian (kosongnya kantor pelayanan ketika ada inspeksi gubernur), dan akal-akalan dalam implementasi (seleksi kepala sekolah dan lelang bus transjakarta). Itu semua dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan politik birokrasi.


Pentingnya tekanan publik


Publik harus menyadari, perlawanan birokrasi tersebut bukan sekadar terhadap kepemimpinan politik yang mengusung perubahan. Lebih mendasar adalah perlawanan terhadap gagasan untuk memotong mentalitas sebagai penguasa yang menjadi norma dasar birokrasi pemerintahan Indonesia.

Jika pada masa lalu tekanan dan mobilisasi publik berhasil mengakhiri kekuasaan pemimpin rezim, maka kini tekanan publik perlu dibangkitkan kembali untuk memberikan dukungan terhadap kepemimpinan politik yang bertujuan mengikis mentalitas kuasa birokrasi, dan mentransformasikannya menjadi ujung tombak layanan publik yang imparsial dan pemerintahan yang efektif. Tanpa tekanan publik yang berarti, niscaya elemen-elemen birokrasi yang melakukan sabotase terhadap inisiatif-inisiatif reformasi akan semakin percaya diri.
 
oleh Wawan Mas’udi  ;   Dosen di Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM
 
sumber: kompas

Thursday, March 20, 2014

Bukan Sekadar Urusan Coblosan



"KEKUASAAN ada di tangan rakyat, tetapi rakyat hanya memilikinya saat pemilu tiba. Setelahnya, kekuasaan itu sepenuhnya berpindah tangan ke mereka yang memenangi pemilu."

FILSUF perempuan Hannah Arendt menyampaikan hal ini sebagai kritik atas kenyataan bahwa politik dalam praktiknya semata- mata dipandang sebagai urusan penyelenggaraan kekuasaan: bahwa demokrasi pada akhirnya adalah sekadar urusan pelaksanaan pemilu. 

Kritik Arendt ini menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia saat ini ketika partisipasi politik warga negara banyak dibicarakan menjelang Pemilu 9 April 2014. Semua warga negara yang telah memiliki hak pilih diimbau mengikuti pemilu. Meski belum menjadi kewajiban, menggunakan hak pilih sangat dianjurkan, bahkan jadi komitmen bersama secara nasional.

Setiap warga pemegang hak pilih diharapkan berbondong- bondong ke TPS dan memilih satu dari sekian banyak kandidat anggota DPR, DPRD I, DPRD II, dan DPD. Inilah tafsir utama tentang partisipasi politik warga negara hari-hari ini. Dan, inilah persisnya yang menjadi sasaran kritik Arendt.

Partisipasi politik
Bagi Arendt, partisipasi politik mesti dipahami secara lebih luas sebagai keterlibatan sukarela dan bermakna semua orang dalam urusan-urusan penyelenggaraan kepentingan bersama. Lebih jelasnya, partisipasi politik harus dilihat dari sejauh mana masyarakat dilibatkan atau melibatkan diri dalam proses-proses penyelenggaraan urusan publik oleh suatu pemerintahan. Berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan, mengawasi kinerja wakil rakyat dan presiden-wakil presiden hasil pemilu bahkan dianggap lebih penting dari sekadar tindakan warga negara menyalurkan suara di TPS.

Singkat kata, partisipasi politik warga negara mesti dimaknai lebih luas dari sekadar urusan coblosan ketika setiap warga negara menyerahkan hak suaranya kepada segelintir orang. Partisipasi politik selalu mengandaikan kepedulian dan tanggung jawab setiap warga negara atas cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih baik. Kepedulian dan tanggung jawab ini, pertama-tama, harus diwujudkan dalam partisipasi aktif warga negara dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dan pengawasannya dari satu pemilu ke pemilu berikutnya sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Kedua, kepedulian dan tanggung jawab itu juga harus tecermin dari pilihan politik yang diambil ketika mengikuti pemilu. Jika peduli terhadap perjalanan bangsa ini lima tahun ke depan, tentu kita tak sekadar mencoblos pada 9 April. Kita juga tidak akan memilih caleg hanya berdasarkan popularitas atau alasan-alasan kedekatan suku, agama, ormas, atau kekerabatan.

Kualitas partisipasi politik dalam hal ini ditentukan oleh sejauh mana kita mampu menanggalkan preferensi pribadi, perasaan suka atau tidak suka, untuk sungguh-sungguh memilih wakil rakyat terbaik atau yang lebih baik daripada yang lain. Tentu saja di sini diandaikan kita memiliki informasi yang cukup tentang rekam jejak para kandidat.

Kita semua berkomitmen mengurangi angka golput dan meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu. Namun, perlu digarisbawahi, tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilu tak banyak maknanya jika pemilu masih dibumbui sikap permisif terhadap politik uang dalam berbagai bentuknya.

Sebagian orang berbondong-bondong ke TPS bukan karena kesadaran diri untuk menyampaikan pilihan politik secara independen dan cerdas, melainkan karena dimobilisasi dengan imbalan material tertentu. Pemilu yang dilaksanakan dalam situasi seperti ini jelas tidak dapat banyak diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang militan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dan memerangi korupsi.

Ketiga, lebih dari sekadar mengikuti coblosan, mengawasi jalannya coblosan dan penghitungan suara juga bentuk partisipasi politik yang sangat menentukan. Dianjurkan kepada tiap warga negara pemegang hak pilih agar tak langsung pulang setelah mencoblos. Tetaplah berada di TPS untuk mengikuti proses penghitungan suara dan mencatat hasilnya.

Jika hasil rekapitulasi suara di tingkat kecamatan tidak sesuai dengan hasil penghitungan suara di TPS, kita harus berani mempersoalkannya secara pribadi maupun kolektif. Pelajaran dari berbagai pilkada menunjukkan, kita menghadapi tingkat kerawanan yang lebih tinggi pada fase penghitungan dan rekapitulasi suara ini.

Perlu kewaspadaan dari setiap pemegang hak pilih terhadap potensi kecurangan pada fase ini. Bisa saja terjadi, calon wakil rakyat yang berkualitas pada akhirnya gagal mendapatkan kursi bukan karena kalah suara, melainkan karena korban kecurangan dalam penghitungan suara. Sebaliknya, calon wakil rakyat yang tidak kredibel atau tidak berkualitas pada akhirnya justru memenangi pemilu karena bermain dalam praktik manipulasi suara dengan modal yang dimilikinya.

Dalam konteks keinginan bersama untuk melahirkan para wakil rakyat yang berkualitas dan berintegritas, mengawasi jalannya pemilu tidak kalah penting dari sekadar mengikuti pemilu. Jangan sampai kesungguhan kita untuk mencoblos yang terbaik di TPS akhirnya sia-sia karena kita tidak berhasil mencegah kongkalikong antara kandidat, panitia, pengawas, dan para saksi pemilu.

Harus proaktif
Keempat, setelah pada akhirnya terpilih anggota DPR, DPRD, dan DPD hasil pemilu, masyarakat masih memiliki waktu untuk menuntut penegasan komitmen mereka selama lima tahun ke depan. Masyarakat bahkan dapat secara proaktif mengajukan usulan-usulan program. Bagaimana komitmen dan program itu dijalankan kemudian sangat membutuhkan ketelatenan masyarakat untuk terus-menerus mempertanyakan dan mengawasinya.

Hanya dengan partisipasi politik dalam pengertian yang lebih luas inilah kita mampu memutus siklus sebagaimana dikatakan Arendt; warga negara hanya memiliki kedaulatan ketika hari coblosan tiba karena setelah itu kedaulatan begitu saja berpindah tangan ke mereka yang memenangi pemilu. Kedaulatan itu baru kembali ke tangan warga negara lagi pada pemilu berikutnya, lalu berulang lagi proses serupa. 

Agus Sudibyo, Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

Sumber: kompas

Tuesday, March 18, 2014

Partai politik main kasar tak paham makna Kompetisi

Timnas U-19
Dari REPUBLIKA.CO.ID, saya mendapat kabar tentang  Pelatih tim nasional U-19 Indra mengutarakan kekecewaannya seusai tim asuhannya ditahan imbang tanpa gol oleh Mitra Kukar U-21 dalam laga ke-12 Tur Nusantara di Stadion Aji Imbut, Tenggarong, Senin (18/3). Indra kecewa bukan karena hasil, melainkan permainan kasar yang diperagakan Mitra Kukar.

"Ini sangat disayangkan karena mereka pressing dibarengi dengan menyikut, memukul, ataupun tekel keras. Kan berbahaya buat pemain. Mereka seperti tidak sadar bahwa yang dihadapi adalah tim nasional mereka sendiri," kata Indra Sjafri kepada Republika

Permainan kasar yang dilakukan Mitra Kuka pada akhirnya membuat Evan Dimas cs pun terpancing emosinya. Beberapa kali, para pemain seperti bek kiri Fatchurohman dan bek tengah Hansamu Yama membalas dengan melakukan pelanggaran. Pertandingan pun sering diwarnai adu mulut antarpemain. 

Indra berharap situasi pertandingan seperti ini tidak terjadi lagi. Tim lawan harus memahami tujuan awal diadakannya Tur Nusantara. Tur Nusantara, tegas Indra, adalah program uji coba timnas U-19, bukan uji coba untuk klub lawan. 

"Jangan perlakukan kami seperti musuh yang harus dikalahkan dengan segala cara. Jadilah mitra yang baik. Ini bukan berarti kami minta menang lho ya," ujar Indra. 

"Tim lawan perlu ingat. Ini adalah program tim nasional, tim yang akan mewakili nama baik Indonesia di Piala Asia 2014. Kalau lawan bermain kasar, kan berbahaya buat pemain," ujarnya.

Mengaca dari pertandingan kedua tim kebanggan Indonesia itu, saya rasa di Pemilu 2014 ini juga seharusnya tidak ada yang bermain kasar, partai2 ini didirikan bukan untuk saling bermusuhan. Partai politik didirikan untuk sekadar bersaing, berkompetisi sehingga muncul salah satu yang terbaik di antara partai terbaik. Jika ada partai yang main kasar, berarti mereka belum paham apa sesungguhnya esensi partai politik dalam negara demokrasi.


Orang-orang yang tergabung dalam partai politik sama-sama merupakan warga negara Indonesia. Bukan orang-orang yang datang dari luar negeri atau luar angkasa untuk menjajah Indonesia. Jadi tidak perlu saling teror, saling ejek, apalagi sampai saling melukai satu sama lain.

Sekali lagi, Pemilu 2014 ini adalah ajang kompetisi. Pemenang kompetisi inilah yang akan memimpin jalannya Indonesia 5 tahun ke depan. Partai yang kalah bersaing harus siap mendukung program-program pemerintah yang dijalankan oleh partai pemenang. Meskipun sikap kritis tetap perlu dimiliki partai-partai lain agar partai ‘penguasa’ tidak menjalankan kuasa dengan asal-asalan.