Tuesday, June 12, 2012

Spesialis Nonton Bareng

 
Negeri yang serbaterlibat itulah Indonesia. Tak peduli siapa pun yang berpesta, kita adalah seksi repotnya. Tak peduli apakah itu Piala Dunia, Piala Eropa, tak peduli apakah di dalamnya ada atau tidak Timnas Indonesia, tapi selalu ada satu yang bisa dipastikan ada: yakni nonton bareng.
Sepertinya, nonton bareng itulah prestasi yang pasti kita raih di ajang pentas-pentas besar dunia. Kalau pun ada prestasi tambahan, paling-paling itu berupa kemungkinan menggelar acara nonton bareng dengan penonton terbanyak sambil berharap museum rekor mau mencatatnya.
Bangsa spesialis nonton bareng itu sungguh gelar yang harus diwaspadai. Artinya, kecanduan cuma menjadi penonton, tetapi tidak kecanduan berprestasi itu adalah bahaya yang nyata. Bagaimana mungkin di dalam kebiasaan menonton terdapat candu? Mari kita lihat psikologi sebagai penonton berikut ini.
Pertama, inilah posisi yang tak usah direbut pasti kita akan kita peroleh. Jadi ada satu jenis posisi yang demikian menggoda untuk siapa saja, dengan modal apa saja, bahkan hanya dengan modal nekat saja juga boleh, dan pasti terlaksana niatnya: yakni meraih posisi sebagai penonton. Lalu kedua, bayangkanlah, kalau seseorang sudah ada di bangku penonton. lihatlah seluruh ekspresinya. Bebas berteriak. Bebas mengumpat, bebas memaki, dan akhir-akhir ini, seperti bebas apa saja, dari melempari batu, sampai tawuran, dan bahkan tawur pun kepada rekan suporternya sendiri. Jika di dalam fraksi politik yang sama ada faksi, para suporter klub yang sama pun pecah dan perlu beroposisi.
Jadi cuma di dalam diri seorang penontonlah terdapat kegembiraan yang begitu penuh dengan modal yang begitu minimal. Penonton tidak perlu breprestasi. Tak peduli  yang menang adalah pihak lain, sepanjang pihak lain itu diidentifikasi sebagai dirinya sendiri, ia akan bisa kegirangan bak kesurupan. Begitu gembiranya, sampai ia tak harus berpikir tentang keadaan apakah keluarganya sedang punya beras, apakah SPP-nya sudah lunas, apakah rumahnya kontrakan atau kreditan. Kenyataan di depan sini, kalah oleh keindahan di kejauhan sana.
Jadi inilah seasyik-asyiknya hidup itu. Ia tak terikat oleh target-target, kecuali target yang berbasis halusinasinya sendiri. Inilah fenomena fly sosial dan teler kebudayaan, sebuah kebiasaan yang sanggup menggembirai sesuatu yang sebetulnya tidak nyata, tidak ada, tidak berkaitan dengan dirinya sendiri. Proses identifikasi semacam ini amat berbahaya, karena ia bisa menganggap sebuah klub adalah dirinya, seorang idola adalah hidup matinya, sebuah pertandingan adalah ritual yang harus dibela hidup dan mati.
Begitu totalnya teler kebudayaan ini diperagakaan sampai-sampai seseorang sama sekali tidak punya ruang untuk mengurus dirinya sendiri, mengurus prestasinya sendiri. Dan apa jadinya, jika diam-diam, bawah sadar kita sebagai bangsa, sudah mulai mengalami abrasi kebudayaan seperti ini. Sangat menggemberiai posisinya sebagai penonton, dan prestasi terbaik yang bisa diraih hanyalah nonton bareng.

Prie GS

Sumber : Suaramerdeka.com