Negeri yang serbaterlibat itulah Indonesia. Tak peduli siapa pun yang
berpesta, kita adalah seksi repotnya. Tak peduli apakah itu Piala
Dunia, Piala Eropa, tak peduli apakah di dalamnya ada atau tidak Timnas
Indonesia, tapi selalu ada satu yang bisa dipastikan ada: yakni nonton
bareng.
Sepertinya, nonton bareng itulah prestasi yang pasti kita raih di
ajang pentas-pentas besar dunia. Kalau pun ada prestasi tambahan,
paling-paling itu berupa kemungkinan menggelar acara nonton bareng
dengan penonton terbanyak sambil berharap museum rekor mau mencatatnya.
Bangsa spesialis nonton bareng itu sungguh gelar yang harus
diwaspadai. Artinya, kecanduan cuma menjadi penonton, tetapi tidak
kecanduan berprestasi itu adalah bahaya yang nyata. Bagaimana mungkin di
dalam kebiasaan menonton terdapat candu? Mari kita lihat psikologi
sebagai penonton berikut ini.
Pertama, inilah posisi yang tak usah direbut pasti kita akan kita
peroleh. Jadi ada satu jenis posisi yang demikian menggoda untuk siapa
saja, dengan modal apa saja, bahkan hanya dengan modal nekat saja juga
boleh, dan pasti terlaksana niatnya: yakni meraih posisi sebagai
penonton. Lalu kedua, bayangkanlah, kalau seseorang sudah ada di bangku
penonton. lihatlah seluruh ekspresinya. Bebas berteriak. Bebas
mengumpat, bebas memaki, dan akhir-akhir ini, seperti bebas apa saja,
dari melempari batu, sampai tawuran, dan bahkan tawur pun kepada rekan
suporternya sendiri. Jika di dalam fraksi politik yang sama ada faksi,
para suporter klub yang sama pun pecah dan perlu beroposisi.
Jadi cuma di dalam diri seorang penontonlah terdapat kegembiraan yang
begitu penuh dengan modal yang begitu minimal. Penonton tidak perlu
breprestasi. Tak peduli yang menang adalah pihak lain, sepanjang pihak
lain itu diidentifikasi sebagai dirinya sendiri, ia akan bisa kegirangan
bak kesurupan. Begitu gembiranya, sampai ia tak harus berpikir tentang
keadaan apakah keluarganya sedang punya beras, apakah SPP-nya sudah
lunas, apakah rumahnya kontrakan atau kreditan. Kenyataan di depan sini,
kalah oleh keindahan di kejauhan sana.
Jadi inilah seasyik-asyiknya hidup itu. Ia tak terikat oleh
target-target, kecuali target yang berbasis halusinasinya sendiri.
Inilah fenomena fly sosial dan teler kebudayaan, sebuah kebiasaan yang
sanggup menggembirai sesuatu yang sebetulnya tidak nyata, tidak ada,
tidak berkaitan dengan dirinya sendiri. Proses identifikasi semacam ini
amat berbahaya, karena ia bisa menganggap sebuah klub adalah dirinya,
seorang idola adalah hidup matinya, sebuah pertandingan adalah ritual
yang harus dibela hidup dan mati.
Begitu totalnya teler kebudayaan ini diperagakaan sampai-sampai
seseorang sama sekali tidak punya ruang untuk mengurus dirinya sendiri,
mengurus prestasinya sendiri. Dan apa jadinya, jika diam-diam, bawah
sadar kita sebagai bangsa, sudah mulai mengalami abrasi kebudayaan
seperti ini. Sangat menggemberiai posisinya sebagai penonton, dan
prestasi terbaik yang bisa diraih hanyalah nonton bareng.
Prie GS
Sumber : Suaramerdeka.com